GERAKAN PERLAWANAN TERHADAP JEPANG
MAKALAH
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata pelajara Sejarah
Dissusun Oleh
MUHAMMAD YUSUF
K E
M E N T E R I A N A G A M A
M A
D R A S A H A L I Y A H N E G E R
I 4 M A R T A P U R A
T A
H U N P E L A J A R A N 2 0 1 3 – 2 0 1 4
KATA PENGANTAR
Puji syukur
kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat serta
karunia-Nya kepada penulis sehingga Karya Tulis yang berjudul “ Gerakan Perlawanan Terhasap Jepang ” ini dapat
tersusun.
Penulis menyadari bahwa karya tulis ini
jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, segala kritik serta saran yang
membangun dari para pembaca akan penulis terima dengan senang hati sehingga
bisa menjadi sebuah pelajaran bagi penulis agar kelak penulis dapat membuat
dengan lebih baik lagi.
Semoga makalah ini memberikan
manfaat bagi masyarakat pada umumnya dan pada khususnya pembaca.
Astambul,
25 Januari 2014
Penulis
BAB
I
PENDAHULUAN
Guna merangsang kepercayaan
rakyat Indonesia, Jepang membentuk Gerakan Tiga A (Nippon Cahaya Asia,
Pelindung Asia, Pemimpin Asia). Jepang berjanji, jika Perang Pasifik
dimenangkan, bangsa-bangsa di Asia akan mendapat kemerdekaannya. Selain itu,
Jepang berjanji akan menciptakan kemakmuran bersama di antara bangsa-bangsa
Asia. Namun, dalam kenyataannya perlakuan Jepang yang kejam menimbulkan
perlawanan tokoh-tokoh nasionalis dan rakyat Indonesia terhadap Jepang. Bentuk
perlawanan terhadap Jepang ini dilakukan dengan cara kooperatif, gerakan bawah
tanah, dan angkat senjata.
BAB
II
PEMBAHASAN
1. Perjuangan Kooperatif (Kerjasama)
Sejumlah tokoh nasionalis
Indonesia banyak yang menggunakan kesempatan pendudukan Jepang untuk mencapai
kemerdekaan Indonesia. Banyak di antara mereka yang menduduki jabatanjabatan
penting dalam lembaga-lembaga yang dibentuk Jepang. Misalnya, Ir. Sukarno, Moh.
Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan K.H. Mas Mansyur menduduki pimpinan Pusat Tenaga
Rakyat (Putera). Mereka dikenal dengan sebutan “Empat Serangkai”. Putera
merupakan sebuah organisasi yang dibentuk Jepang pada Maret 1943, bertujuan
menggerakan rakyat Indonesia untuk mendukung peperangan Jepang menghadapi
Sekutu.
Melalui Putera, para
pemimpin Indonesia dapat berhubungan dengan rakyat secara langsung, baik
melalui rapat-rapat maupun media massa milik Jepang. Tokoh-tokoh Putera
memanfaatkan organisasi-organisasi itu untuk menggembleng mental dan
membangkitkan semangat nasionalisme serta menumbuhkan rasa percaya diri serta
harga diri sebagai bangsa.
Mereka selalu menekankan
pentingnya persatuan, pentingnya memupuk terusmenerus semangat cinta tanah air,
dan harus lebih memperhebat semangat antiimperialisme- kolonialisme. Organisasi
Putera mendapat sambutan yang hangat dari seluruh rakyat. Namun, karena Putera
nyatanya bermanfaat bagi bangsa Indoensia, pemerintah Jepang akhirnya
membubarkannya pada April 1944.
Selain melalui Putera, para
pemimpin pergerakan juga berjuang melalui Badan Pertimbangan Pusat atau Cou
Sangi In yang dibentuk Jepang pada 5 September 1943. Badan ini
beranggotakan 43 orang dan diketuai oleh Ir. Soekarno. Dalam sidangnya pada 20
Oktober 1943, Cuo Sangi In menetapkan
bahwa agar Jepang menang dalam perang, perlu dikerahkan segala potensi dan
produksi dari rakyat Indoensia.
Untuk melaksanakan
ketetapan itu dibentuklah berbagai kesatuan pemuda, sebagai wadah
penggemblengan mental dan semangat juang agar mereka menjadi tenaga-tenaga
pejuang yang militan. Berbagai kesatuan pemuda yang berhasil dibentuk antara
lain: Seinendan (Barisan
Pemuda), Keibodan (Barisan
Pembantu Polisi), Seisyintai (Barisan
Pelopor), Gakutotai (Barisan
Pelajar), dan Fujinkai (Barisan
Wanita).
Pada saat penggemblengan
mental itulah Ir. Soekarno selalu menyisipkan penanaman jiwa dan semangat
nasionalisme, pentingnya persatuan dan kesatuan serta keberanian berjuang
dengan risiko apa pun untuk menuju Indonesia merdeka. Dengan demikian,
kebijakan pemerintah Jepang dimanfaatkan oleh tokoh-tokoh nasional untuk
perjuangan. Para pemimpin Indonesia memanfaatkan organisasi ini untuk memupuk
rasa persatuan dan kesatuan. Jelas sekali, para pemimpin Indonesia tidak bodoh
untuk dibohongi oleh Jepang.
2. Perjuangan Bawah Tanah
Perjuangan bawah tanah
adalah perjuangan yang dilakukan secara tertutup dan rahasia. Perjuang bawah
tanah ini dilakukan oleh para tokoh nasionalis yang bekerja pasa
instansi-instansi pemerintahan buatan Jepang. Jadi, di balik kepatuhannya
terhadap Jepang, tersembunyi kegiatan-kegiatan yang bertujuan menghimpun dan
mempersatukan rakyat untuk meneruskan perjuang untuk mecapai Indonesia merdeka.
Perjuangan bawah tanah ini
tersebar di berbagai tempat: Jakarta, Semarang, Bandung, Surabaya, serta Medan.
Di Jakarta terdapat beberapa kelompok yang melakukan perjuangan model ini.
Antara kelompok perjuangan yang satu dengan kelompok perjuangan yang lain, selalu
terjadi kontak hubungan.
Kelompokkelompok perjuang tersebut, antara
lain:
a. Kelompok Sukarni
Sukarni adalah tokoh
pergerakan pada zaman Hindia Belanda. Pada masa pendudukan Jepang, ia bekerja
di Sendenbu
(Barisan
Propaganda Jepang) bersama-sama dengan Muhammad Yamin. Sukarni
menghimpun
tokoh-tokoh pergerakan yang lain, antara lain: Adam
Malik, Kusnaeni, Pandu
Wiguna, dan Maruto Nitimiharjo.
Gerakan yang dilakukan kelompok Sukarni adalah menyebarluaskan cita-cita
kemerdekaan, menghimpun orangorang yang berjiwa revolusioner, dan mengungkapkan
kebohongan-kebohongan yang dilakukan oleh Jepang.
Sebagai pegawai Sendenbu,
Sukarni bebas mengunjungi asrama Peta (Pembela Tanah Air) yang tersebar di
seluruh Jawa. Karena itu, Sukarni mengetahui seberapa besar kekuatan
revolusioner yang anti-Jepang. Untuk menutupi gerakannya, kelompok Sukarni
mendirikan asrama politik, yang diberi nama “Angkatan Baru
Indonesia” yang didukung Sendenbu.
Di dalam asrama ini terkumpul para tokoh pergerakan antara lain: Ir.
Sukarno, Mohammad Hatta, Ahmad
Subarjo, dan Sunarya yang
bertugas mendidik para pemuda tantang masalah politik dan pengetahuan umum.
b. Kelompok Ahmad Subarjo
Ahmad Subarjo pada
masa pendudukan Jepang menjabat sebagai Kepala Biro Riset Kaigun
Bukanfu (Kantor Penghubung Angkatan Laut) di Jakarta. Ahmad Subarjo
berusaha menghimpun tokoh-tokoh bangsa Indonesia yang bekerja dalam Angkatan
Laut Jepang. Atas dorongan dari kelompok Ahmad Subarjo, Angkatan Laut berhasil
mendirikan asrama pemuda yang bernama “Asrama Indonesia
Merdeka”. Di asrama Indonesia Merdeka inilah para pemimpin bangsa
Indonesia memberikan pelajaran-pelajaran guna menanamkan semangat nasionalisme
kepada para pemuda Indonesia.
c. Kelompok Sutan Syahrir
Sutan Syahrir merupakan
tokoh besar pergerakan nasional, yang pada zaman Hindia Belanda tahun 1935
dibuang ke Boven Digul di Irian Jaya, kemudian dipindahkan ke Banda Neira dan
terakhir ke Sukabumi. Pada masa pendudukan Jepang, Syahrir berjuang diam-diam
dengan cara menghimpun teman-teman sekolahnya dulu dan rekan-rekan seorganisasi
pada zaman Hindia Belanda. Terbentuklah satu kelompok rahasia, Kelompok
Syahrir.
Dalam perjuangannya,
Syahrir juga menjalin hubungan dengan pemimpin-pemimpin bangsa yang terpaksa
bekerja sama dengan Jepang. Di samping itu, hubungan kelompok Syahrir dengan
kelompok perjuangan yang lain berjalan cukup baik. Karena gerak langkah Syahrir
dicurigai Jepang, untuk menghilangkan kecurigaan pihak Jepang Syahrir bersedia
memberi pelajaran di Asrama Indonesia Merdeka milik Angkatan Laut Jepang (Kaigun),
bersama dengan Ir. Sukarno, Mohammad Hatta, Ahmad Subarjo, dan Iwa
Kusumasumantri.
d. Kelompok Pemuda
Kelompok Pemuda pada masa
Jepang mendapat perhatian khusus dari pemerintah Jepang. Jepang berusaha
memengaruhi para pemuda Indoensia dengan propaganda yang menarik. Dengan
demikian, nantinya para pemuda Indonesia merupakan alat yang ampuh guna
menjalankan kepentingan Jepang. Jepang menanamkan pengaruhnya pada para pemuda
Indonesia melalui kursus-kursus dan lembaga-lembaga yang sudah ada sejak zaman
Hindia Belanda.
Jepang mendukung berdirinya
kursus-kursus yang diadakan dalam asrama-asrama, misalnya di Asrama Angkatan
Baru Indonesia yang terdapat Sendenbu dan
Asrama Indonesia Merdeka yang didirikan Angkatan Laut Jepang. Namun, pemuda Indonesia
baik pelajar maupun mahasiswa tidak gampang termakan oleh propaganda Jepang.
Mereka menyadari bahwa imperialisme yang dilakukan oleh Jepang pada hakikatnya
sama dengan imperialisme bangsa Barat.
Pada masa itu, di Jakarta
terdapat 2 kelompok pemuda yang aktif berjuang, yakni yang terhimpun dalam
asrama Ika Daikagu (Sekolah
Tinggi Kedokteran) dan kelompok pemuda yang terhimpun dalam Badan
Permusyawaratan/Perwakilan Pelajar Indonesia (Baperpri). Kelompok terpelajar
tersebut mempunyai ikatan organisasi yang bernama Persatuan
Mahasiswa.
Organisasi ini merupakan
wadah untuk menyusun aksi-aksi terhadap penguasa Jepang dan menyusun
pertemuan-pertemuan dengan para pemimpin bangsa. Dalam perjuangannya, kelompok
pemuda juga selalu berhubungan dengan kelompok-kelompok yang lain, yaitu
kelompok Sukarni, kelompok Ahmad Subarjo, dan Kelompok Syahrir. Tokoh-tokoh
Kelompok Pemuda yang terkenal antara lain: Chaerul Saleh, Darwis. Johar
Nur, Eri
Sadewo, E.A. Ratulangi,
dan Syarif
Thayeb.
3. Perlawanan Angkat Senjata
Perlakuan Jepang yang tak
berperikemanusian menimbulkan reaksi dan perlawanan dari rakyat Indonesia di
berbagai wilayah. Kebencian ini bertambah ketika di beberapa tempat, Jepang
menghina aspek-aspek keagamaan. Berikut ini beberapa perlawanan rakyat pada
masa penjajahan Jepang.
a. Perlawanan di Cot Plieng,
Aceh
Perlawanan di Aceh ini
dipimpin oleh Tengku Abdul Djalil,
seorang ulama pemuda. Pada 10 November 1942, tentara Jepang menyerang Cot
Plieng pada saat rakyat sedang melaksanakan shalat subuh. Penyerangan pagi buta
ini akhirnya dapat digagalkan oleh rakyat dengan menggunakan senjata kelewang,
pedang, dan rencong.
Begitupun dengan dengan
serangan kedua, tentara Jepang berhasil dipukul mundur. Namun pada serangan
yang ketiga, pasukan Teungku Abdul Jalil dapat dikalahkan Jepang. Peperangan
ini telah merenggut 90 tentara Jepang dan sekitar 3.000 masyarakat Cot Plieng.
b. Perlawanan di Tasikmalaya,
Jawa Barat
Perlawanan di Singaparna,
Tasikmalaya, ini dipimpin oleh Kyai Haji Zaenal
Mustofa. Perlawanan ini terkait dengan tidak bersedianya K.H. Zaenal
Mustofa untuk melakukan Seikeirei, memberikan
penghormatan kepada Kaisar Jepang. Dalam pandangan Zaenal Mustofa, membungkuk
seperti itu sama saja dengan memberikan penghormatan lebih kepada matahari,
sementara dalam hukum Islam hal tersebut terkarang karena dianggap menyekutukan
Tuhan.
Pemerintahan Jepang
kemudian mengutus seseorang untuk menangkapnya. Namun utusan tersebut tidak
berhasil karena dihadang rakyat. Dalam keadaan luka, perwakilan Jepang tersebut
memberitahukan peristiwa tersebut kepada pimpinannya di Tasiklamalaya. Karena
tersinggung, Jepang pada 25 Februari 1944 menyerang Singaparna pada siang hari
setelah shalat Jumat. Dalam pertempuran tersebut Zaenal Mustofa berhasil
ditangkap dan kemudian diasingkan ke Jakarta hingga wafatnya. Jenazahnya
dikuburkan di daerah Ancol, dan kemudian dipindahkan ke Tasikmalaya.
c. Perlawanan Sejumlah Perwira
Pembela Tanah Air di Blitar, Buana dan Paudrah (Aceh), dan Cilacap
Perlawanan sejumlah perwira
Pembela Tanah Air (Peta) di Blitar terjadi pada 14 Februari 1945 yang dipimpin
oleh Syudanco
Supriyadi. Ia adalah seorang syodanco (komandan
peleton) Peta. Perlawanan Supriyadi ini disebabkan karena tidak tahan lagi
melihat kesengsaraan rakyat yang mati karena romusha. Namun
perlawanan tersebut dapat diredam oleh Jepang.
Perlawanan ini tampaknya
tidak direncanakan dengan matang sehingga mudah untuk digagalkan. Akhirnya para
anggota Peta yang terrlibat perlawanan diadili di Mahkamah Militer Jepang.
Orang yang berhasil membunuh Jepang langsung dijatuhi hukuman mati, antara
lain: dr. Ismangil, Muradi, Suparyono, Halir
Mangkudidjaya, Sunanto,
dan Sudarmo.
Dalam persidangan tersebut,
Supriyadi sendiri sebagai pemimpin perlawanan tidak diikutsertakan. Beberapa
pihak mengatakan bahwa Supriyadi sesungguhnya sudah ditangkap dan dibunuh
secara diam-diam, ada pula pihak yang percaya bahwa Supriyadi mokswa
alias
menghilangkan diri tanpa jejak Selain di Blitar, perlawanan pemuda Peta juga
meletus di dua daerah di Aceh, yaitu Buana dan Paudrah.
Pemimpinnya adalah Guguyun
Teuku Hamid;
ia bersama 20 peleton pasukan melarikan diri dari asrama pada November 1944
untuk merencanakan pemberontakan. Namun Jepang berhasil mengancam keluarga
Teuku Hamid sehingga Teuku Hamid kembali lagi. Tampaknya rencana perlawanan
Teuku Hamid menambah simpati dan semangat masyarakat sehingga kemudian muncul
kembali perlawanan.
Lahirlah perlawanan Padrah
di daerah Bireun, Aceh Utara, yang dipimpin oleh seorang kepala kampung yang
dibantu oleh regu Guguyun.
Perlawanan tersebut menelan banyak korban dari pihak Aceh karena semua yang
tertawan akhirnya dibunuh oleh Jepang.
Di Gumilir, Cilacap
perlawanan dipimpin oleh seorang komandan regu bernama Khusaeri.
Serangan pertama tentara Jepang terdesak, namun setelah bala bantuan datang
Khusaeri mampu dikalahkan. Di Pangalengan, Jawa Barat, pun meletus perlawanan
dari para personil Peta yang juga dapat dilumpuhkan
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian dalam makalah ini maka
penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan yaitu :
1. Tujuan Jepang dating ke Indonesia
adalah untuk mendapatkan dukungan dan memanfaatkan Indonesia dalam menghadapi
sekutu.
2. Jepang membentuk BPUPKI dan PPKI
sebagai realisasi janjinya pada Indonesia.
3. Indonesia melalui PPKI membentuk
sebuah pemerintah sementara dengan Soekarno sebagai presiden dan Hatta sebagai
wakil presidennya.
B.
Saran
Dari makalah ini pembaca telah mengetahui tentang betapa
berat perjuangan bangsa Indonesia dalam mendapat kemerdekaan, jadi sebagai
generasi penerus bangsa kita harus menghargai perjuangan pahlawan kita yang
dengan susah payah merebut kemerdekaan dari penjajah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar